![]() |
Baca juga Indah Nuria : Breaking The News
"Bu Dhila, silahan masuk.”
“Sakit apa, Bu? Bisa saya bantu?”
“Saya mau di kemo, Bu.”
“Oh gitu. Baik saya periksa dulu sel darah putih dan sel darah hitamnya ya, Bu.”
Gubrak. Saya langsung tertawa mendengarnya. Obrolan di atas bukan main-main lho ya. Itu percakapan antara Dhila dan Thiya, putri kembar saya, saat mereka main dokter-dokteran. Diumur yang masih empat tahun, mereka sudah dipaksa keadaan untuk akrab dengan istilah-istilah medis dunia kedokteran yang berhubungan dengan penyakit saya. Sel sarah putih, kemo, radiasi dan sebagainya telah familiar bagi mereka.
Hal tersebut timbul secara alami saja. Misalnya istilah kemo mereka dapatkan ketika saya menyampaikan akan bepergian ke luar negeri untuk kemoterapi. Biasanya saya selalu berkoresponden dengan anak saya yang pertama mengenai pengobatan saya, jika saya akan menjalani proses kemoterapi. Setiap tahapan menjelang proses kemo dilakukan, mereka selalu akan bertanya-tanya apakah saya diperbolehkan untuk kemo atau tidak. Dari sana lahirlah kosa kata baru buat mereka yakni sel darah putih, sebagai indicator saya boleh atau tidaknya kemo. Itulah ‘berkah’ sebagai anak pasien kanker ya. Nah mengenai sel darah hitam, itu cuma imajinasi si kembar aja. He..he,,
Apakah anak-anak tahu ibunya menderita penyakit kanker?
Lamunan saya teringat hari saat vonis kanker disampaikan kepada saya. Ketika itu anak-anak sengaja saya suruh menunggu diluar saja dengan papanya. Hanya saya sendiri yang berhadapan dengan dokter. Saya saat itu memang mengkhawatirkan kalau-kalau hasil medis saya buruk dan dokter secara gamblang menyampaikannya di depan anak-anak saya yang masih kecil.
Sekuat tenaga saya berusaha menahan tangis di depan dokter. Alhamdulillah sukses. Namun tembok pertahanan saya akhirnya jebol juga. Di dalam mobil, dihadapan anak-anak dalam perjalanan kembali ke rumah.
Si kakak yang sudah berumur tujuh tahun saat itu, diam saja dengan wajah tegang. Firasatnya mungkin mengatakan sesuatu telah terjadi pada ibunya. Dan itu buruk. Namun si kembar, empat tahun, malah sibuk bertanya-tanya.
“Kok mami nangis?”
“Mami di suntik ya?. Sakit, Mi?”
Saya hanya bisa mengangguk. Semuanya hening kecuali si kembar.
***
![]() |
It's hard to say that i'm sick |
Seperti yang pernah saya bilang, memberi tahu orang-orang terkasih akan penyakit berat, sama sakitnya dengan penyakit tersebut. Orang-orang terkasih menjadi sedih dengan keadaan kita itu rasanya menusuk. Apalagi bagi yang masih mempunyai anak yang masih kecil. Harus benar-benar dipertimbangkan apakah memberi tahu anak ataupun tidak merupakan keputusan terbaik.
Pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan mental anak. Sebagai anak, pada umur berapa pun dia, akan merasa sedih begitu mengetahui ibunya sakit. Tetapi spectrum kesedihan yang dirasakan akan berbeda berdasar umur karena adanya perbedaan kemampuan analisis anak.
Yang kedua adalah faktor kepentingan. Apakah perlu untuk memberi tahu anak tentang ibunya yang sakit kanker? Apa konsekuensinya jika anak-anak tahu kalau mamanya sakit? Mungkin anak akan lebih berempati, dapat meringankan beban orangtua misalkan membantu menyapu, mengemong adik dan sebagainya. Lalu apa konsekuensinya jika orangtua memutuskan untuk tidak jujur terhadap anaknya? Seberapa banyak informasi yang musti diberitahukan? Keseluruhan atau parsial? Hal-hal tersebut harus dipertimbangkan dengan matang, sebelum orangtua berbicara juru tentang penyakitnya dengan anak.
Jadi apakah anak-anak saya tahu tentang ibunya yang menderita kanker?
Saya sedari awal sebenarnya tidak ada niatan untuk memberi tahu ketiga anak saya. Setelah di vonis kanker payudara, dalam upaya memantapkan hati untuk menjalani operasi mastektomi, tentunya saya dan suami sering-sering searching hal-hal yang berhubungan dengan kanker payudara guna untuk menambah pengetahuan dan pemahaman. Awalnya berusaha untuk menjauhi anak-anak ketika mencari informasi tentang kanker. Namun lama-lama menjadi susah dan Nessa anak pertama, lalu ikut-ikutan membaca.
Namun, saya tetap melakukan proteksi terhadap bacaan-bacaan, pembicaraan maupun televisi yang menayangkan berita-berita kematian akibat kanker. Terus terang saya cukup kuatir kalau secara tidak sengaja anak-anak mendengar berita di televisi.
Kapan saya memberi tahu mereka?
Mereka saya beritahu ketika saya akan menjalani mastektomi. Tapi dengan pemahaman yang berbeda karena sikembar masih balita. Sikembar hanya mengetahui bahwa mimik maminya ada sakit, sehingga butuh dioperasi. Sedangkan kakaknya Nessa, walaupun mengetahui saya sakit kanker payudara, tetapi tidak dalam pemahaman yang sebenarnya. Artinya dia cuma tahu tentang nama penyakit tetapi tidak mengetahui terhadap sifat dan bahaya penyakit tersebut. Saya memang memutuskan bahwa anak-anak hanya mengetahui secara parsial tentang penyakit ibunya. Sedari awal saya memang menginginkan bahwa kehidupan kami, paling tidak kehidupan anak-anak tidak berpengaruh apa-apa dengan sakitnya saya. Untuk itu saya memang mendisain jenis treatment yang saya lakukan nantinya, dengan mempertimbangkan kondisi psikis anak-anak. Artinya saya tidak ingin treatment kanker, membuat saya terlihat sebagai pesakitan di depan anak-anak.
Bagaimana kehidupan sehari-hari kami berlanjut setelah vonis kanker?
Salah satu ‘keajaiban’ setelah menyusui anak secara langsung, adalah mereka akan selalu terpesona melihat payudara ibunya. Bahkan saat mereka sudah tidak batita lagi. Seakan-akan payudara merupakan hal yang terindah yang pernah mereka lihat. Dan saya memang mempergunakan itu, kadang-kadang sebagai ‘instrumen’ untuk menenangkan kalau anak-anak khususnya sikembar saat mereka sedang emosional:)
Setelah mastektomi, saya awalnya sedikit menutup diri terhadap anak-anak. Tidak memperbolehkan mereka lagi masuk ke kamar mandi saat saya lagi mandi. Tidak memperbolehkan mereka melihat saya berganti pakaian. Saya tidak ingin mereka melihat rupa payudara ibunya sekarang. Saya khawatir mereka takut.
"Kok mimik mami dipotong?" itu adalah pertanyaan yang sering ditanyakan sikembar. Saya pun menjawab sesuai konteks keumuran mereka.
Namun lama-lama akhirnya lelah juga, harus selalu 'mengumpet' dari kejaran anak-anak. Jadi suatu hari saya putuskan untuk memperlihatkan bekas operasi tersebut.
Awal-awalnya mereka takjub. Kok bisa gak ada...kok cuma satu dan sebagainya.Ternyata dugaan saya salah. Mereka sama sekali tidak khawatir setelah tahu rahasia saya. Seakan-akan apa yang telah pergi...ya pergi saja...yuk kita cari yang lain. Mungkin kita perlu belajar dari anak-anak dari cara mereka memandang hidup. Bahwa hidup bukanlah untuk meratapi yang telah pergi. Karena sejatinya hidup untuk memperjuangkan apa-apa yang diinginkan di masa depan.
Dan hingga sekarang, satu payudara itu masih tetap mempesona mereka. Dan saya tak pernah menyesal bahwa telah memberi tahu mereka tentang penyakit saya.
One breast tried to kill me...but the other still keeps my children calm!