Around Solo City in 180 Minutes - Sebenarnya datang ke Solo untuk menghadiri suatu konferensi keilmuan yang saya tekuni. Saya hanya punya waktu 3 malam 2 hari di Solo. Namun ini merupakan kunjungan kali pertama saya ke Solo, pastinya sangat sayang untuk dilewati dengan hanya duduk serius di acara konferensi tersebut. Jadilah saya mencuri-curi waktu di saat tidak ada jadwal persentasi untuk saya. Setelah sesi pertama selesai (sesi keynote speakers) di hari pertama, saya langsung melesat kembali ke penginapan untuk bergabung dengan keluarga, kebetulan keluarga juga saya bawa karena saya masih punya batita yang belum disapih, sekalian ceritanya liburan bersama. Jadinya saya bisa maklum, kalau anggota-anggota DPR dengan dalih kunjungan kerja atau studi banding, juga menyempatkan untuk pelesiran bersama keluarga. Ya fifty-fifty lah….:) Kerjanya dapat, senang-senangnya juga.
Solo atau Surakarta?
Disepanjang perjalanan orangtua saya,
khususnya mama, selalu bertanya apa beda antara Solo dengan Surakarta.
Maklum di setiap perkantoran maupun sekolah selalu terpampang :
“Pemerintah Kota Surakarta”
“SMPN 1 Surakarta”
Surakarta.go.id website resmi
pemerintahannya juga tidak menggunakan kata Solo. Menurut mas sopir
taksinya (saya lupa namanya), Solo itu bahasa jawanya Sala (dibaca Solo
dengan O lemah), merupakan nama akrab kota Surakarta. Sedangkan
Surakarta, seperti yang kita tahu, adalah suatu Kasunanan pecahan dari
kerajaan Mataram yang meliputi daerah Solo, Kertasura, Karanganyar dll.
Surakarta sendiri dipakai sebagai nama resmi kota itu. Namun menurut si
mas sopir taksinya, orang tidak menyebut Surakarta sebagai daerah/asal
tempat tinggalnya, namun mereka mengatakan ” Saya berasal dari Solo”.
Ribet juga. he…he…
Keraton Kasunanan Surakarata
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan
tujuan pertama dari jalan-jalan ini. Buat saya wisata sejarah merupakan
hal yang sangat menyenangkan. Saya seakan-akan bisa merasakan atmosfer
kejayaan masa lampau dari objek sejarah tersebut.
Namun sayangnya saya dan rombongan sampai
di Kompeks Keraton ketika jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, padahal
di hari biasa kompleks keraton dibuka untuk umum dari jam 08 WIB hingga
jam 14 WIB. Sehingga kami pun ditolak untuk memasuki kompleks keraton.
Tapi, di kedatangan di kali yang kedua,
akhirnya saya dan rombongan diizinkan memasuki sebagian kompleks keraton
kasunanan Surakarta. Saya akan menceritakan bagaimana proses sampai
kami diizinkan pada postingan berikutnya. Pastinya ini masih dalam
rangkaian Around Solo City in 180 minutes. Untuk memuaskan anda sekalian berikut saya sajikan foto gerbang masuk keraton kasunan surakarta.
Alun-Alun Kota Solo
Setelah di tolak memasuki kompleks
keraton, saya dan rombongan kemudian menuju ke Alun-alun Kota Solo.
Layaknya gaya khas tata kota kota tua, maka Keraton dan Masjid Agung
lokasinya bersisian dengan Alun-alun. Banyak hal-hal menarik dapat kita
saksikan di Alun-alun Kota Solo.
- Kereta Sri SusuhunanPaku Buwono X
Terdapat dua kereta (baca : gerbong) yang
terparkir di Alun-alun Selatan kota Solo, padahal di sana bukan stasiun
kereta dan tidak terdapat rel kereta api di lokasi tersebut. Menurut
Mas Sopir kedua kereta tersebut mempunyai ‘kisah yang aneh’. Dulu
keduanya pernah hilang, gak tau rimbanya, lalu tiba-tiba muncul lagi
gak tau siapa yang mengembalikan. Ada kekuatan magis yang membuatnya
begitu. Ternyata kedua kereta itu adalah kereta yang dulunya digunakan
oleh Paku Buwono X, disebut-sebut sebagai raja terbesar dari Kasunan
Surakarta Hadiningrat, yang berkuasa dari 1893 – 1939. Satu kereta
adalah kereta pesiar, yang digunakan oleh PB X untuk pelesiran, satunya
lagi merupakan kereta jenazah untuk mengarak jenazah ke pemakaman
Imogiri.
Disebutkan bahwa kereta tersebut
merupakan kereta paling modern pada waktu itu. Meman kalau dilihat
sepintas, tidak adanya bedanya antara kereta PB X tersebut dengan
kereta-kereta yang digunakan dalam rangkaian Kereta api sekarang.
Padahal dibuat pada awal abad 18. Bahkan kereta pesiar sudah mempunyai
sistem pendingin udara dalam pengoperasiannya, cuma teknologinya berasal
dari kumpulan balok-balok es yang ditaruh.
- Kebo Bule Kyai Slamet
Namanya Kebo Bule Kyai Slamet. Cerita Mas Sopir kebo bule ini merupakan hadiah dari Belanda untuk Kasunan Surakarta. Namun dari beberapa sumber yang saya baca, banyak versi cerita asal muasal kerbau albino ini. Kerbau ini bertugas untuk menjaga pusaka Kyai Slamet, suatu pusaka berupa tombak. Lama-kelamaan akhirnya orang menyebutnya sebagai Kebo Bule Kyai Slamet. Ini dia jepretan si kebo lagi merumput. Kelihatan kan bulenya?
Di setiap acara Kirab Ritual malam 1 Suro
(1 Muharram) kebo bule ini akan diarak mengelili komplek keraton. Acara
kirab ini selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo. Pada acara
tersebut kawanan kerbau ini dijadikan pembuka jalan (cucuk lampah)
bagi kirab barisan pusaka keraton yang dibawa oleh para abdi
dalem.masyarakat sudah terlanjur percaya bahwa kebo bule ini keramat,
sehingga disepanjang kirab masyarakat selalu berdesak-desakan untuk
memegangnya. Bahkan ada yang mengambil kotoran kerbau tersebut karena
dipercaya bisa mendatangkan berkah. Keunikan dari kerbau ini, si kebo
selalu minum kopi dan makan telur mentah sebelum kirab 1 Suro di mulai.
Kalau ada kerbau yang mati, diperlakukan layaknya manusia yang
meninggal. Kerban tersebut akan dimandikan, lalu dikafani sebelum
dikuuburkan
Sayangnya pada acara kirab Ritual 1 Suro
tahun ini hanya si kebo bule yang terlibat, sedangkan barisan pusaka
dilarang ikut kirab karena Paku Buwono XIII, penguasa Surakarta sekarang
melarang acara kirab tersebut.
Ada Sate Cobra dan Sate Babi Lho
Selama mengelili kota Solo ini, ada juga
lho tempat makan yang bikin kita jajy bajaj. Yaitu warung tenda sate
cobra dan sate babi. Tidak terlalu banyak siy sepertinya warung sate
yang menyediakan menu ini, namun lokasinya selalu berada di pinggir
jalan besar dengan gambar yang mencolok. Bahkan saudara saya menyebutkan
ada juga sate anjing di Solo, namun saya tidak pernah melihatnya.
sayangnya saya hanya punya kamera saku, sehingga hasil foto saya tentang
menu sate ini kabur karena foto diambil ketika taksi masih berjalan.
Menurut Mas Sopir sate cobra itu enak katanya, dan terdapat peternakan cobra untuk menyuplai bahan baku sate cobra Solo ini.
Wanna try? Oh…no thanks
Kampung Batik Laweyan
Rasanya belum ke Solo kalau tidak
memebeli Batik Solo. Si Mas Sopir menyarankan ke Kampung Batik Laweyan
saja, karena kalau ke Pasar Klewer tidak kondusif untuk anak-anak karena
situasinya berdesakan, selain juga banyak copetnya. Akhirnya saya dan
rombongan sampai di kampung batik Laweyan. Saya pikir itu memang
kampung, seperti bayangan kita akan suatu desa. Ternyata masih di kota
Solo, namun merupakan daerah Laweyan yang menjadi salah satu sentra
industi batik. Harganya kondusif, alias masih ada yang berharga di bawah
100 rb.
Benteng Vastenburg
Tujuan pelesiran terakhir adalah benteng
Vastenburg, yang terletak di kawasan Gladak. Menurut Wikipedia.com
benteng ini dibangun tahun 1745 atas perintah Gubernur Jendral Baron Van
Imhoff sebagai bagian pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta.
Bentuk tembok benteng berupa bujursangkar
yang ujung-ujungnya terdapat penonjolan ruang yang disebut bastion. Di
sekeliling tembok benteng terdapat parit yang berfungsi sebagai
perlindungan. Bangunan terdiri dari beberapa barak yang terpisah. Di
tengahnya terdapat lahan terbuka untuk persiapan pasukan.
Sayangnya saya tiba di lokasi benteng
saat Magrib datang menjelang, sehingga wujud benteng tidak terlihat
jelas. Tidak terdapat penerangan baik di dalam maupun di luar benteng.
Maklum di Solo jam 5.30 sudah seperti jam 6.30 di Padang. Namun menurut
Mas Sopir kondisi benteng saat ini tidak terawat dan dipenuhi semak
belukar. Padahal terdapat taman di gerbang depan benteng yang bisa
digunakan untuk duduk-duduk dan olah raga. Menurut situs Tempo.co.id
saat ini masih terjadi sengketa kepemilikan, karena saat ini kepemilikan
benteng telah berpindah tangan ke pihak swsta melalui proses tukar
guling. Saat ini pemerintah kota sedang berupaya untuk memperjuangkan
kembali mengambil alih kepemilikan lahan benteng tersebut. Sungguh
disayangkan untuk sebuah bangunan yang menyimpan sejarah perjuangan kota
Solo. Saya berikan foto terkini benteng yang saya ambil dari blog
jejak-bocahilang.com
Sayang pada kunjungan ke Solo kali ini gak sempat ke Puro Mangkunegaran
(kasunannya Buk Tien Soeharto) dan naik mobil Werkudara. Dari panitia
konferensi sudah mengagendakan tour keliling kota Solo dengan mobil
Werkudara pada hari ketiga, namun saya harus kembali ke Jakarta pada
saat yang bersamaan.
Tahu nggak berapa total argo taksi Avanza untuk 180 menit mengelilingi kota Solo? Rp. 150.000,- Cukup Ekonomis kan?
Halo mba Yervi. Aku udah pernah ke Solo tapi sayangnya kurang explore banyak euy. Padahal di Solo banyak sekali tempat menarik lainnya
BalasHapusKalau aku belum pernah sama sekali ke Solo, mbak. Jadi berharap banget suatu saat bisa kesana apalagi pas baca tulisan mbak aku penasaran sama Kraton Surakarta itu. :)
BalasHapus