Di Suatu Sore Yang Cerah....
"
Yuhuuu...Papa I'm back."
"Ih, Mama dari mana aja. Sore banget pulangnya?"
"
Tau gak, Pa. Tadi barusan Mama dapat klien. Dia dokter lho, Pa. Tapi bayinya masih kesulitan menyusui, Pa. Akhirnya terkabul juga cita-cita Mama jadi Konselor Menyusui."
"Memang Mama dari mana, sih?"
"
Papa, jadi ceritanya Mama hari ini resmi menjalani profesi Konselor Menyusui. Tadi itu klien pertama Mama. Belum terlalu berhasil sih, tapi minimal dia gak kesakitan lagi kalau menyusui."
" Trus Mama kesana sama siapa?"
"
Sendiri aja, Pa. Rumahnya di kompleks perumahan mewah gitu Pa."
" Nah, ini nih. Kebiasaan jelek Mama. Gimana coba, kalau ternyata klien itu cuma kedok, dia sebenarnya mau tipu atau perdaya Mama. Gak kan ada yang tahu kan? Mama gak dengar ya, kasus adiknya Fadli Fadlan. Besok-besok kalau mau datang ke orang yang gak kenal, gak boleh sendiri. Minta izin dulu sama Papa.
"
.... dan percakapan terhenti sampai disitu.
Kalau anda jadi Mama dalam lakon di atas, kira-kira bagaimana perasaan anda pada akhir komunikasi suami isteri tersebut. Gembirakah? Atau malah jengkel, marah?
Seandainya saya dalam posisi tersebut, saya pasti kesal pada suami, karena niat baik yang dilakukan malah berujung dengan 'ceramah' singkat dari pak suami. Sebenarnya niat sang suami baik sih. Bahwa isteri juga harus mengerti situasi dan peluang untuk orang berbuat jahat. Karena itu mawas diri perlu.
Apakah respon yang diperlihatkan suami itu merupakan respon yang salah? Jujur saya katakan tidak salah, namun hanya kurang tepat. The point is ....adanya komunikasi yang tidak efektif diantara suami dan isteri tersebut. Bagaimana tanda-tanda komunikasi diantara pasangan suami isteri itu efektif?
"Komunikasi yang efektif terjadi jika terwujud kesamaan makna atas
pesan/informasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses
komunikasi"
Jadi bagaimana mungkin bisa efektif, kalau diantara suami isteri tidak nyambung komunikasinya. Tanggapan atau kebutuhan isteri disalahtafsirkan. Isteri memberi pesan tentang kegembiraannya menjalani profesi baru, sedangkan suami menanggapi dengan sinis karena kekhawatirannya akan keselamatan isterinya.
Padahal, komunikasi merupakan motor relasi personal suami isteri. Dalam banyak kasus kegagalan pernikahan, dikarenakan gagalnya faktor komunikasi dalam menjembatani suami dan isteri. Jadi supaya ingin langgeng pernikahannya, maka komunikasi yang tidak efektif, harus dibetulkan.
Baca juga :
Sukses Membina Relasi Suami Isteri Ala Nyak Rotun
Menggunakan Teknik Konseling Dalam Berkomunikasi
Jadi sebulan yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti pelatihan tentang Teknik Konseling untuk membantu Ibu menyusui. Materinya sangat menarik dan membuka wawasan, bahwa ternyata selama ini kita (baca : saya) sering tidak menyadari melakukan kesalahan dalam berkomunikasi dengan suami. Teknik konseling ini sangat powerful karena tidak hanya membantu Ibu untuk sukses menyusui saja, namun bisa diaplikasikan dalam hal apapun yang menyangkut dengan komunikasi. Misalkan, komunikasi antara dosen dengan mahasiswa, namun saya jujur belum pernah mempraktekkannya. Komunikasi antara orangtua dengan anak dan yang ingin saya bahas sekarang adalah komunikasi antara suami dan isteri.
Coba deh, perhatikan. Salah satu faktor utama pasangan suami isteri bertengkar adalah karena adanya miskomunikasi. Dan faktor komunikasi yang buruk salah satu penyebab utama perceraian terjadi. Sekali lagi saya katakan, kunci langgeng pernikahan memang terdapat pada komunikasi. Dan komunikasi yang baik terjadi apabila pesan yang disampaikan komunikator tersampaikan dengan baik kepada komunikan.
"Teknik konseling sebenarnya merupakan the way to treat others, dengan berusaha untuk memahami perasaannya, dan membantunya untuk memutuskan apa yang dilakukan".
Untuk bisa memahami perasaan sekaligus membantu pasangan kita memutuskan, maka yang harus kita punyai adalah KETERAMPILAN MENDENGARKAN DAN MEMPELAJARI. Dan keterampilan mendengarkan pun musti kita latih. Alih-alih melakukan, mungkin banyak yang bertanya apa tidak cukup saja menggunakan telinga untuk mendengarkan? Ternyata tak sesederhana itu. Kita sebagai manusia, butuh untuk didengarkan, namun dalam prakteknya malah lebih banyak berbicara .
Untuk melatih keterampilan mendengar dan mempelajari, maka lakukan enam hal berikut terhadap pasangan anda.
1. Komunikasi non verbal.
Komunikasi non verbal adalah cara kita berkomunikasi dengan pasangan melalui sikap tubuh, gerakan tubuh, ekspresi tanpa perlu bicara. Komunikasi verbal yang bermanfaat dapat berupa sikap tubuh dengan posisi tubuh (baca : kepala) sama tinggi, adanya bentuk perhatian, ketersediaan waktu tanpa terburu-buru, tanpa penghalang dan melalui sentuhan.
Sering sekali kan, jika salah seorang (suami/isteri) berbicara, pasangan lainnya malah terkadang asyik dengan benda lain. Misalnya HP, TV dan sebagainya. Komunikasi akan efektif kalau komunikan memandang dan menghadap ke arah komunikator. Dengan begitu komunikan dapat memperhatikan dengan baik apa yang disampaikan komunikator.
"
Mama...dengar ga sih yang barusan papa bilang?". Dengan begitu adegan seperti ini gak mesti ada.
Di lain waktu, baik komunikan maupun komunikator mesti memperhatikan apakah posisi kepala mereka sudah sama tinggi. Gak enak kan ngomong, yang satu berdiri, yang satunya malah duduk.
Singkirkan HP atau matikan TV kalau ingin komunikasi efektif, semisal ada pembahasan yang cukup serius. Sehingga keduanya bisa fokus.
"
Nanti aja deh Ma, kita bahas. Papa udah telat nih. Ntar kena macet lagi."
Idealnya komunikasi memang tidak dilakukan pada timing yang tidak tepat. Namun terkadang, karena merasa harus cepat dituntaskan masalah yang ada, komunikator harus berbicara pada waktu yang tidak tepat. Untuk itu komunikan dan komunikator perlu tahu bahwa komunikasi yang efektif akan terselenggara tanpa ada keterburuan dalam mengakhiri pembicaraan.
2. Mengajukan pertanyaan terbuka
Perlu kita ingat bahwa ketika salah satu pasangan memulai komunikasi, itu artinya bahwa dia ingin memberikan banyak informasi. Untuk membuat pasangan tersebut lebih banyak bicara, sehingga informasi tergali, jalannya melalui penggalian dengan melakukan teknik konseling Mengajukan Pertanyaan Terbuka.
Pertanyaan terbuka biasanya dimulai dengan Bagaimana? Apa? Kapan? Mengapa? dan sebagainya.
Pertanyaan tertutup hanya menghasilkan jawaban Ya dan Tidak. Ekplorasi komunikasi antar suami isteri membutuhkan lebih banyak pertanyaan terbuka, terkadang boleh diselingi dengan pertanyaan tertutup.
"
Papa kenapa sih, dari tadi diam aja? Papa ngambek ya? Coba cerita, apa ada yang salah dari Mama?"
3. Menggunakan respon dan gerakan tubuh yang menunjukkan perhatian.
Sepintas keterampilan ini sepele. Tapi bila suami/isteri ingin menunjukkan perhatian bahwa dia masih ingin melanjutkan percakapan/pembicaraan dengan pasangan, maka berikan respon atau gerakan tubuh yang menunjukkan perhatian.
Misalnya ucapan, "
Oh, gitu ya Ma." dilakukan sambil
mengangguk-angguk. Sebuah respon sederhana yang diperkuat dengan gerakan tubuh, cukup meyakinkan komunikator bahwa komunikan mengerti dan memahami apa yang dia sampaikan.
4. Mengatakan kembali apa yang dikatakan (reflect back)
Terkadang respon dan gerakan tubuh tidak cukup untuk menunjukkan perhatian. Komunikan perlu mengatakan kembali apa yang dikatakan komunikator untuk menunjukkan dia memahami apa yang disampaikan. Ini perlu untuk menunjukkan perhatian bahwa komunikan peduli dan masih ingin melanjutkan pembicaraan.
5. Berempati
Berempati tidak sama dengan bersimpati. Bersimpati lebih menunjukkan respon komunikan terhadap komunikator, dari sudut pandangnya sebagai komunikan. Berempati lebih dari sekedar bersimpati. Berempati menunjukkan bahwa komunikan memahami perasaan dari komunikator.
Jadi semisal ada percakapan seperti ini, "
Aduh Pa. Kok sekarang apa-apa naik terus harganya. Minggu kemarin seekor ayam masih 32 ribu, sekarang kok udah naik aja jadi 40 ribu. Mana daging sapi jarang yang jual lagi."
Maka respon dengan simpati kira-kira akan begini, "Biasa itu, Ma. Namanya juga lagi mau puasa, Ma. Ya semua barang harganya naik."
Namun dengan respon yang berempati, komunikan dapat menyampaikannya menjadi seperti ini, "
Jadi harga barang semuanya pada naik ya, Ma. Tenang aja, Ma. Biasanya gak lama kok. Ini karena mau puasa aja. Nanti harganya kembali normal."
Jadi kunci berempati, adalah dengan mengulangi perasaan dari komunikator.
6. Hindari kata-kata menghakimi
"Aduh Pa. Kok sekarang apa-apa naik terus harganya. Minggu kemarin
seekor ayam masih 32 ribu, sekarang kok udah naik aja jadi 40 ribu. Mana
daging sapi jarang yang jual lagi."
"Mama lebay deh. Ini kan mau puasa. Ya biasa lah, Ma. Semua barang pada naik.
Hindari penggunaan kata-kata yang menghakimi untuk mewujudkan pembicaraan yang efektif. Penggunaan kata-kata yang
menghakimi
dari komunikan dapat membuat komunikator merasa bersalah dengan dirinya (pikiran dan ucapannya). Gunakan kata-kata untuk suatu kalimat yang bermakna sama, namun dalam konotasi positif. Yang lebih penting penggunaan kata-kata menghakimi akan membuat perasaan komukator menjadi tersinggung.
Ayo, mari coba praktekkan teknik konseling ini pada pasangan anda, dan rasakan hasil yang mengejutkan dan bermanfaat untuk terciptanya kelanggengan dalam pernikahan anda.
 |
Until death do us part, semoga. |